Lucu-lucuan dalam Getir PPKM

- 19 Juli 2021, 07:44 WIB
Ketua PWI Jateng Amir Machmud NS saat sebagai narasumber webinar
Ketua PWI Jateng Amir Machmud NS saat sebagai narasumber webinar /PWI Jateng/SinarJateng.com

Produk pengungkapan kegetiran itu menyajikan aksen “kreativitas tentang ketidakberdayaan”, seperti dalam meme tentang adu penalti dan batas waktu MU juara Liga Primer. Di balik kegetiran termuat kecerdasan kontekstual.

Bukankah belum lama berselang kita terhibur oleh dua turnamen sepak bola, Copa America 2021 dan Euro 2020? Sejumlah pertandingan dua kejuaraan tersebut diwarnai dengan perpanjangan waktu, lalu setelah hasilnya juga buntu, diselesaikan lewat drama adu penalti.

Mengaitkan PPKM dengan menyinyiri MU juga menandai kecerdasan dan intelektualitas satire. Apakah pembuat meme itu fans Setan Merah, atau justru sebaliknya, meledek penggemar Manchester Merah menantikan sesuatu yang mungkin bakal lama terwujud? Realitasnya, sejak pelatih legendaris Alex Ferguson pensiun pada 2013, MU belum pernah lagi meraih trofi EPL.

Baca Juga: MUI Bersama PWI Jateng akan Lakukan Penandatanganan Naskah Seruan dan Gelar Webinar

Artikulasi Rasa

Dalam buku Sepotong Mimpi dari Rusia saya menulis, pembuat meme tentu tidak banyak menimbang perasaan ketika mengotak-atik aneka kemungkinan membuat sindiran atau cercaan. Seperti yang dijelaskan dalam Wikipedia, meme (yang biasa dibaca “mim”) dalah neologi yang dikenal sebagai karakter dari budaya, yang termasuk di dalamnya gagasan, perasaan, ataupun perilaku (tindakan).

Artikulasi gagasan dan rasa, itulah substansi meme untuk mengungkapkan kekecewaan, kekesalan, kemarahan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Ia menghadirkan narasi simbolik yang mendiksikan gambar sebagai “bahasa kritis”. Lebih mengungkapkan eksplorasi kreativitas merangkai kritik, mengutamakan kemasan, yang apabila diahasakan secara lisan mungkin mudah membuat pihak yang disasar tersinggung.

Saya tulis pula dalam judul “Meme Messi, yang Lucu dan yang Haru” itu, verbalitas penggunaan simbol gambar untuk tujuan tertentu -- meskipun itu adalah humor -- bagaimanapun terikat oleh etika komunikasi. Pada sisi lain, dalam budaya demokrasi, respons terhadap kritik melalui meme akan menunjukkan seberapa siap kedewasaan seseorang, apalagi bagi tokoh-tokoh publik. Sebagai risiko budaya demokrasi, meme akan mengintai sebagai bagian dari budaya kritik (Amir Machmud NS, 2018).

Baca Juga: PWI Pemalang Berikan Bantuan 'Jogo Wartawan' pada Anggota yang Terpapar Covid-19

Menurut Abdurrahman Wahid (alm), melawan melalui lelucon merupakan kesadaran, betapa humor punya kemampuan dahsyat pencerah di tengah kebekuan kekuasaan dan segala pilar penyangganya. Dengan humor orang bisa melintasi sekat-sekat ketakutan yang lazim melekat pada kekuasaan.

Halaman:

Editor: Intan Hidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah