Mediasi Menjadi Langkah Utama Polri Ditengah Revisi UU ITE

- 11 Maret 2021, 21:23 WIB
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono tengah memberikan keterangan pada Webinar “Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE” pada 10 Maret 2021 melalui Zoom meeting. /tangkapan layar Webinar Menyikapi UU ITE/
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono tengah memberikan keterangan pada Webinar “Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE” pada 10 Maret 2021 melalui Zoom meeting. /tangkapan layar Webinar Menyikapi UU ITE/ /PWI

SINARJATENG.COM - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono membeberkan data laporan kepolisian terkait UU ITE yang meningkat setiap tahunnya.

"Pada tahun 2018 itu ada laporan polisi 4.360. Kemudian 2019 meningkat jadi 4.586. Kemudian 2020 meningkat lagi menjadi 4.790. Ini kecenderungannya laporan polisi terkait UU ITE meningkat," ujarnya dalam Webinar “Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE” pada 10 Maret 2021.

Menurut Rusdi, tidak semua kejadian yang menyangkut UU ITE tersebut dilaporkan sampai menjadi satu laporan polisi. "Tentunya apabila dilaporkan semuanya ini akan lebih banyak lagi," imbuhnya.

Baca Juga: Revisi Perda RTRW Kabupaten Cilacap Molor, Pengamat: Merugikan Investasi di Cilacap

Kemudian dari permasalahan-permasalahan yang sering membuat gaduh di dunia maya, urutan pertama adalah pencemaran nama baik. Data laporan polisi terkait ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

"2018 itu ada 1.258 laporan polisi. Kemudian 2019 meningkat menjadi 1.333 laporan pilisi. Dan pada tahun 2020 meningkat lagi menjadi 1.794 laporan polisi yang menyangkut pencemaran nama baik," urainya.

Urutan kedua ditempati ujaran kebencian. Pada tahun 2018 sebanyak 238 laporan polisi, 2019 mencapai 247 laporan polisi dan 223 laporan polisi di tahun 2020. "Setiap tahun ujaran kebencian menjadi laporan polisi cenderung di atas 200 angkanya," jelasnya.

Baca Juga: Menjelang Nyepi, Polisi Perketat Pengamanan Daerah Wisata dan Satpol PP Denda 367 WNA yang Langgar Prokes

Selanjutnya terkait informasi hoaks atau bohong. "2018 itu 60, 2019 ada 97, dan 2020 menjadi 197 laporan polisi yang menyangkut hoaks," ujar Rusdi.

Namun begitu, banyaknya tersangka atau barang bukti yang diserahkan ke Kejaksaan tidak bisa dijadikan penilaian keberhasilan kinerja Polisi pada era kekinian. Tapi, bagaimana polisi mampu mencegah tindak kejahatan, masyarakat tidak menjadi korban kejahatan dan juga mencegah munculnya pelaku-pelaku kejahatan.

"Ini yang senantiasa menjadi bagi Polri bagaimana ke depan sisi-sisi pencegahan itu menjadi sesuatu yang dominan di dalam pelaksanaan tugas di lapangan," terangnya.

Baca Juga: Sinopsis Indiana Jones and The Last Crusade, Tayang di Bioskop Spesial Trans TV

Ditengah proses pengkajian ataupun revisi UU ITE, sedangkan UU ITE masih berlaku di masyarakat, Polri mengambil langkah dengan mengedepankan restorative justice.

Berdasarkan aturan-aturan yang ada dalam internal, jelas Rusdi, dapat dilihat melalui Peraturan Kapolri Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Pada Pasal 1 ayat 27 itu di mana satu perkara pidana melalui proses mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa pelapor, terlapor, maupun pihak-pihak yang dianggap mampu menyelesaikan suatu masalah.

Kedua bisa dilihat dari Surat Edaran Nomor 2 Februari 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika dan Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. Di mana dalam SE tersebut penyidik berprinsip ultimum remedium dan mengedepankan restorative justice dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum yang berhubungan dengan UU ITE itu sendiri.

Baca Juga: Sinopsis Film Romeo Must Die: Aksi Jet Li Membalas Dendam Atas Kematian Adiknya

"Tentunya melihat situasi kekinian, jangka pendek yang bisa dilakukan oleh Polri adalah mediasi jadi salah satu solusi terhadap kegaduhan implementasi daripada UU ITE," terangnya.***

Editor: Intan Hidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x