Pandangan Orang Jawa Tentang Dunia, Orang Jawa Harus Tahu Jawanya

- 15 Januari 2024, 21:43 WIB
Pandangan Orang Jawa Tentang Dunia, Orang Jawa Harus Tahu Jawanya
Pandangan Orang Jawa Tentang Dunia, Orang Jawa Harus Tahu Jawanya /


SINARJATENG.COM - Orang Jawa memiliki 7 karakter pandangan dunia. Jika seseorang belum memiliki semuanya, biasanya akan disebut ‘’DURUNG JAWA’’ (belum Jawa) karena Kejawaannya dinilai belum utuh.

Pertama, pandangan KETUHANAN. Orang Jawa pasti percaya adanya Tuhan, entah dengan sebutan apapun, bahkan sejak sebelum masuknya Hindu dan Buddha. Sejak masa pra-kehidupan modern, orang jawa sudah punya agama bernama KAPITAYAN. Banyak sekali peninggalan agama ini di Jawa. Istilah ‘’Tuhan’’ itu sebenarnya juga peninggalan dari Kapitayan. Semua istilah berawalan dengan ‘’TU’’ hampir semuanya adalah peninggalan agama ini. Misalnya ‘’TUGU’’, TUNGGUL’’ atau TUTUK’’ yang berarti ‘’Manusia Cerdas’’ dan seterusnya, semuanya itu berasal dari tradisi Kapitayan. Bagi penganut agama ini, istilah ‘’TU’’ memiliki unsur ilahiah.

Orang Jawa tidak hanya berTuhan, tetapi juga berkeTuhanan yaitu sangat mengedepankan perilaku religius. Jadi kalau ada orang Jawa tetapi ateis, sepertinya itu tidak nyambung dengan kejawaannya. Sebab, jiwa orang Jawa itu jiwa KeTuhanan.

Baca Juga: Hizbul Wathan Dikukuhkan, Ini Pesan Pj Wali Kota Salatiga

Pandangan Dunia orang Jawa yang kedua adalah TAKDIR. Ketika menjelajahi falsafah Jawa, kita akan banyak menemukan istilah semacam RILA (RELA), NARIMA (Menerima) dan PASRAH. Istilah-istilah tersebut merupakan ungkapan penerimaan terhadap takdir. Itulah ciri orang Jawa.

Sifat ini adalah kekuatan, meskipun dalam sejarah terkadang menjadi blunder. Misalnya, mungkin ada persepsi bahwa bangsa Jawa harus dijajah sampai ratusan tahun karena memiliki daya tahan untuk menerima takdir yang luar biasa itu. Mungkin selama dijajah itu, orang Jawa memiliki pemikiran, ‘’Kalau memang sudah ditakdirkan dijajah mau apa lagi?’’ Di sisi lain, pandangan dunia terhadap takdir seperti itu membuat masyarakat menjadi kuat. Lihat saja, di tengah serangan pandemi yang berjalan bertahun-tahun, pengelolaannya terkadang membuat kita bingung, tetapi masyarakat kita kuat menerimanya. Tidak panik berlebihan. Meski banyak orang masuk rumah sakit dan meninggal, masyarakat tetap tenang- tenang saja keluar rumah. Itu karena masyarakat berpikir bahwa semua kejadian adalah takdir yang harus diterima. Kalau sakit berarti memang waktunya sakit, lalu diobati. Kalau tidak bisa diobati dan akhirnya meninggal, berarti memang sudah takdirnya meninggal. Sederhana sekali.

Dari aspek daya tahan, falsafah ini luar biasa. Tetapi, dalam sudut pandang orang Barat, dari aspek progress, cara pandang seperti itu menjadi tidak signifikan. Sebab, orang Barat hanya menghitung perkembangan yang pesat dan cepat. Hidup ini terasa berat ketika kita selalu berpikir jika hidup ini harus diubah dan diperjuangkan terus menerus agar situasinya menjadi sesuai dengan keinginan kita. Kita tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi di luar kemauan yang kita kejar. Sedangkan hidup, agak menjadi enteng ketika kita bisa menerima semua yang terjadi dengan pandangan dunia menerima takdir, sebagaimana pandangan hidup orang Jawa.

Karen cara pandang ini, salah satu ciri orang Jawa adalah mereka tidak suka berkompetisi. Tidak pernah berlomba-lomba ingin menjadi nomer satu. Saya tidak tahu bagaimana pandangan hidup bisa muncul, tetapi mungkin ini adalah bagian dari kebiasaan masyarakat agraris sebagaimana masyarakat Jawa.

Petani itu kan tidak seperti pekerja kantoran. Dia menanam padi, merawatnya, kemudian tinggal menunggu hasilnya. Aspek utama seorang petani adalah menunggu panen, bukan mengejar-ngejar. Mereka berpandangan bahwa rezeki sudah ada yang membagi. Seperti itulah pandangan dunia khas Jawa, mensyukuri apa saja yang didapatkan. Ketika menjadi korban penipuan pun orang Jawa masih bisa bersyukur; ’’Alhamdulillah, biar kena tipu, tetapi masih diberi kesehatan.’’ Cara pandang seperti ini yang membuat orang Jawa memiliki daya tahan luar biasa.

Pandangan Dunia Orang Jawa ketiga adalah percaya kepada yang imaterial dan supranatural. Cara pandang ini sebenarnya sangat religius, karena dalam agama, kepercayaan terhadap yang gaib adalah salah satu pilarnya. Sebelum agama-agama yang kita kenal sekarang masuk ke Jawa, orang Jawa sudah mengenal hal-hal gaib seperti itu. Apalagi pada zaman pra-Islam, banyak sekali kepercayaan terhadap yang gaib. Orang Jawa mengenal dan percaya terhadap banyak sekali konsep jenis setan, seperti genderuwo, pocong, kuntilanak, dan lain sebagainya. Bahkan setiap daerah memiliki konsep hantu mereka sendiri-sendiri. Seandainya nama hantu itu dirangkum dalam sebuah kamus mungkin bakal menjadi tebal sekali. Bandingkan dengan Barat yang hanya mengenal satu dua jenis hantu.

Kepercayaan terhadap hal-hal yang imaterial sampai mendarah daging dalam budaya Jawa. Karenanya film-film dengan tema supranatural selalu laku di Indonesia. Acara televisi yang mengangkat tema berbau horror biasanya paling laku. Itu semua karena memiliki pandangan dunia yang percaya kepada imaterial dan supranatural.

Pandangan Dunia keempat bagi orang Jawa adalah percaya kepada Hakikat dan Kedalaman. Orang-orang Jawa biasanya tidak mengunggulkan yang material atau formalitas-formalitas termasuk ritual-ritual yang sifatnya fisikal. Orang Jawa selalu berorientasi kepada yang hakiki atau yang lebih dalam. Sehingga, banyak sekali ekspresi religius di Jawa. Macam-macam dan beragam. Dalam sejarah ritual religi Jawa, tidak ada ritual yang seragam atau pakem, yang dijadikan khas ritual bersama. Dari cara membuat sesajenpun tidak ada yang seragam. Karena focus orang Jawa bukan pada tampilan ritual itu, tetap pada kedalaman atau hakikatnya. Bagian fisik hanya dianggap sebagai symbol, bukan inti.

Pandangan Dunia kelima, orang Jawa sangat concern terhadap kesusilaan. Orang Jawa sangat menghargai tata krama atau sopan santun. Yang paling penting adalah menghargai orang dengan rumus-rumus yang tentunya sudah disepakati. Aspek ini sangat ditekankan di Jawa. Kita berbicara apa saja, ada lapisan kesusilaan dalam berbahasa. Orang Jawa mengenal tingkatan-tingkatan bahasa, mulai dari ngoko, krama, krama inggil dan seterusnya. Semakin ke atas, bahasanya semakin halus, karena digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati. Dalam bahasa agama, pandangan seperti ini disebuh AKHLAK dan ADAB. Kendati sesuatu itu isinya benar; jika dikemas dengan moral dan susila yang tidak tepat, maka hal tersebut tetap dianggap buruk dalam pandangan Jawa. Sebab kemasan moral dan susila dianggap penting oleh orang Jawa. Mungkin kita pernah merasakan ada orang Jawa yang senyum di depan kita tetapi dalam hatinya berkata lain, memang begitu karena orang Jawa memang mengedepankan kesusilaan. Orang Jawa punya falsafah:’’Ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (Kemuliaan diri seseorang tergantung pada lisannya atau yang diucapkannya/ mulutnya, kemuliaan badan tergantung pada busana yang dikenakannya).’’ Itulah mengapa orang Jawa sangat mengatur cara berbicara dan cara berpakaian karena memang mereka memiliki pandangan dunia yang mengutamakan kesusilaan.

Pandangan Dunia yang keenam adalah kebersamaan. Orang Jawa suka terhadap segala sesuatu yang bernuansa rukun dan guyub. Sehingga orang Jawa punya pepatah:’’Mangan ora mangan sing penting kumpul.’’ Makan ataupun tidak yang penting berkumpul. Kondisi sesulit apa pun tidak masalah yang penting semua berkumpul menjadi satu.

Kebiasaan mudik lebaran menjadi sebuah keharusan orang Indonesia karena kita memiliki mental pandangan dunia kebersamaan itu. Meski sekarang sudah ada banyak aplikasi digital yang memungkinkan perjumpaan secara virtual tetapi itu masih belum cukup bagi orang Jawa. Tetap harus ketemu langsung sehingga bisa bersalaman atau berpelukan. Harus hadir secara fisik dan harus bareng-bareng. Karena DNA pandangan dunia orang Jawa sudah begitu sejak aman nenek moyang.

Baca Juga: Haul Akbar Kabupaten Semarang Diisi Doa Bersama

Pandangan Dunia yang terakhir, ketujuh adalah simbolisme. Dalam bahasa Jawa, orang Jawa adalah tempatnya Pasemon (Sindiran atau Kiasan). Artinya, manusia Jawa adalah tempatnya perumpamaan. Segala apa saja pasti ada simbolnya dan ada maknanya. Pandangan seperti inilah yang dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga ketika menyebarkan Islam di tanah Jawa. Beliau menggunakan cangkul, bajak, wayang dan baju untuk menyimbolkan ajaran Islam yang hendak diajarkan.

Orang Jawa bahkan punya ‘’Ilmu Titen’’, yaitu ilmu yang memandang segala gejala alam itu bukan hanya fenomena, tetapi juga mempunyai makna yang menyimbolkan sesuatu. Oang Jawa selalu berupaya memaknai setiap situasi yang terjadi. Pandemi yang berlangsung selama 2 tahun lebih ini pasti juga dimaknai oleh orang Jawa. Bahkan ketika kelopak mata berdenyutpun yang dalam bahasa Jawa disebut ‘’Keduten’’ orang Jawa juga memandangnya memiliki makna. Misalnya, kalau yang keduten sebelah kiri pertanda apa, kalau yang kanan tandanya apa. Letak tahi lalatpun, di pipi, dagu, sekitar mata, atau di manapun juga dimaknai. Primbon Jawa bahkan menjelaskan watak dan sifat seseorang dari bentuk wajahnya. Bagi orang Jawa, semua hal selalu diposisikan sebagai simbolisme dan selalu dimaknai.

Ilmu itulah, yang di Jawa disebut sebagai ilmu Titen, yaitu kata dasar dari ‘’dititeni’’ yang berarti ‘’dingat-ingat.’’ Salah satu aplikasi ilmu ini, misalnya, ketika ada anggota keluarga yang meninggal hari Kamis Kliwon, maka hari itu akan terus diingat-ingat sebagai hari peringatan meninggalnya anggota keluarga tersebut dan keluarga tidak pernah mengadakan perayaan pada hari itu karena hari tersebut diingat sebagai hari duka keluarga, hari duka berarti hari yang kurang menguntungkan. Begitulah cara orang Jawa memaknai fenomena melalui simbol-simbol.***

Editor: Yusuf Afandi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah