Agresi Israel ke Palestina Bentuk Kejahatan Pidana Internasional

- 20 Mei 2021, 14:42 WIB
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal Imam Asmarudin, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal Imam Asmarudin, S.H., M.H. /UPS Tegal

Oleh: Imam Asmarudin, S.H., M.H.

Mendengar dan menyebut nama Israel dan Palestina yang ada dalam benak pikiran kita lansung tertuju dan membayangkan suasana konflik yang tidak kunjung selesai, bertahun-tahun konflik antara Israel dan Palestina terjadi di jalur Gaza.

Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina telah memakan banyak korban, bahkan Konflik antara Israel dan Palestina saat ini kembali memanas. Data yang dikutip Kompas.com dari Al-Jazeera, serangan Israel menyebabkan 137 warga Palestina tewas, termasuk 36 anak-anak. Selain itu, tercatat 920 orang cedera.

Serangan Israel terhadap Palestina mendapat kecaman dari banyak negara, terutama negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), serangan militer Israel terhadap Palestina dalam pandangan Hukum Internasional sebenarnya menjadi sebuah tindakan yang dapat dikategorukan sebagai suatu Kejahatan Pidana Internasional.

Baca Juga: Seruan Presiden AS Joe Biden untuk Hentikan Serangan ke Palistina Tidak Dianggap Benjamin Netanyahu

Dalam instrumen Hukum Internasional terdapat sebuah konvensi yakni Statuta Roma tahun 1998 yang menjadi sebuah kesepakatan Negara-negara didunia yang didalamnya mengatur kejahatan-kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan Internasional yang dapat diseret di Mahkamah Pidana Internasional/International Criminal Court (ICC) yang berkedudukan di Den Haag Belanda.

Dalam Statut Roma 1998 pasal 5 mengatur yang termasuk kejahatan Internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional/International Criminal Court (ICC) adalah  genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.

Dengan melihat unsur kejahatan pidana internasional tersebut sepertinya Israel telah melanggar semua kejahatan yang diatur dalam pasal 5 Statuta Roma 1998, yang harusnya memiliki peluang untuk diseret ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag Belanda.

Baca Juga: Cegah Longsor, Kawasan Rowo Jombor Klaten Segera Direvitalisasi Tahap Dua

Instrumen Hukum Internasional lainnya adalah adanya Konvensi Jenewa tahun 1949 dan beberapa protocol tambahannya yang menjadi sebuah konsensus dan pedoman setiap Negara manakala terjadi konflik bersenjata antara Negara (terjadi Peperangan), Konvensi Jenewa merupakan serangkaian aturan untuk memperlakukan warga sipil, tawanan perang, dan tentara manakala terjadi konflik bersenjata.

Konvensi Jenewa 1949 merupakan bagian dari Hukum Humaniter Internasional yang juga dikenal sebagai Hukum Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata. Tujuan konvensi ini adalah untuk menjadi patokan standar dalam memperlakukan korban perang.

Serangan Israel ke tempat pemukiman warga sipil dan tempat ibadah yang bukan merupakan obyek militer merupakan kategori sebuah kejahatan perang (War Crime) yang seharusnya dapat menjadi bukti untuk menyeret ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag Belanda, Bahkan dalam pasal 8 ayat 2 Statut Roma 1998 sangat tegas dinyatakan bahwa kejahatan perang berarti pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949.

Baca Juga: Polres Pekalongan Gelar Razia Besar-Besaran, Amankan Puluhan Balon Udara dan Petasan

Adanya instrument-instrumen hukum dalam tataran hukum Internasional tersebut sebenarnya sudah sangat jelas dan tegas bahwa tindakan Israel yang melakukan penyerangan ke tempat-tempat pemukiman warga sipil dan tempat ibadah yang bukan merupakan obyek militer telah melanggar baik melanggar Statuta Roma 1998 maupun Konvensi Jenewa 1949, prinsip-prinsip dalam hukum humaniter internasional dan hukum pidana internasional sudah tidak dipatuhi lagi oleh Israel.

namun mengapa sampai dengan sekarang tindakan yang dilakukan oleh Israel tersebut belum ada respon dari organisasi tertinggi di Dunia yakni PBB?

Status Palestina yang belum dianggap sebagai Negara menjadi salah satu alasan mengapa Palestina kesulitan secara “Politis” untuk menyeret dan menuntut Israel ke hadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag Belanda. Sangat bertolak belakang apabila Mengutip data dari Kompas.com, tanggal 17 Juni 2020 yang melansir dari History lebih dari 135 negara anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka.

Baca Juga: Seluruh Objek Wisata di Kabupaten Jepara Hari Ini Kamis 20 Mei 2021 Ditutup Penuh saat Kupatan

Artinya, sekitar 82 persen populasi dunia secara resmi mengakui Palestina sebagai negara. Tetapi sekitar 50 negara di dunia tidak mengakui Palestina sebagai Negara. Beberapa Negara yang tidak mengakui Palestina sebagai negara antara lain Israel, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, Perancis, Spanyol, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru.

Berdasarkan data yang dilansir dari History tersebut diatas sebanyak 135 negara anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka, bahkan PBB sesuai paragraf 2 resolusi 67/19, status Palestina di PBB adalah sebagai Non-member Observer State (negara pengamat non-anggota) oleh Sekretariat PBB, hal itu memberikan peluang dan kesempatan kepada Palestina agar penyebutan Negara Palestina digunakan di semua dokumen PBB dan pada papan nama yang digunakan dalam pertemuan PBB dan itu dilakukan oleh organisasi PBB.

Hal itu menunjukan sebenarnya Palestina diakui keberadaannya sebagai sebuah negara dan memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yaitu: (a) penduduk tetap (masyarakat), (b) wilayah tertentu, (c) pemerintahan, dan (d) kemampuan untuk melakukan hubungan–hubungan dengan negara-negara lain.

Baca Juga: Kabupaten Bandung Diguncang Gempa

Perjuangan Palestina menyeret dan menuntut Israel untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kejahatan perang dihadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) tidak hanya saat ini saja, sejak tahun 2009 sudah memperjuangkan dihadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), namun oleh karena secara “Politis” Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mendapat tekanan dari Negara-negara Barat terutama Amerika Serikat, menjadikan kendala dalam perjalannnya.

Namun dengan kondisi sekarang ini dengan status Palestina telah meratifikasi Statuta Roma dan Palestina menjadi Non-member Observer State (negara pengamat non-anggota) di organisasi dunia PBB, maka menjadi peluang untuk mempermasalahkan kejahatan perang (War Crime) Israel menjadi lebih terbuka, Dukungan Negara-negara Islam terutama Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) terhadap Kemerdekaan Palestina sangat diperlukan untuk melegitimasi secara “Politis”.

Keberadaan Palestina dalam memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya baik hak-hak warga sipil, Sumber Daya Alam, kekuasaan kewilayahan sebagai suatu Negara, dan Kesederajatan dalam hubungan antara Negara dalam hukum Internasional perlu didukung agar secara “De Facto” maupun secara “De Jure” existensi kedaulatan Negara Palestina terwujud, sehingga Kedudukan Palestina dihadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai sebuah Negara yang menuntut pertanggungjawaban Israel semakin kuat.

Baca Juga: Tottenham Hotspur Harus Terima Kekalahan Atas Aston Villa 1-2 di Kandang Sendiri

Langkah Negara Indonesia dengan menggandeng dan mengajak beberapa negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan menyerukan solidaritas agar Palestina segera mendapatkan kemerdekaannya menjadi bentuk nyata bahwa Negara Indonesia menolak segala bentuk penjajahan dan mendukung kesederajatan bernegara.

*Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal***

Editor: Intan Hidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x