Berebut Mengaransemen 'Kebenaran'

- 13 Desember 2020, 10:56 WIB
Ketua PWI Jawa Tengah, Amir Machmud NS
Ketua PWI Jawa Tengah, Amir Machmud NS /Dok. Pribadi/Sinarjateng.com

Sepanjang 2020, sebagai refleksi kondisi dari tahun-tahun sebelumnya, media dihadapkan pada rivalitas kekuasaan yang menjadikan ruang publik sebagai ajang membangun opini. Realitasnya, aransemen-aransemen “kebenaran” itu -- dalam format mencitrakan dan aksen memojokkan -- tak terlepas dari proyeksi kontestasi 2024.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Jateng, Minggu 13 Desember 2020: Berpotensi Hujan Sedang Hingga Lebat

Siapa yang memenangi perebutan “kebenaran”? Mereka yang punya akses ke sumberdaya kekuasaan dan sumberdaya ekonomi kuat? Lalu ke mana hati nurani yang masih tersisa di newsroom media?

Siapa pun yang bisa mengendalikan opini, tentulah tidak serta merta berhak mengklaim kebenaran. Bukankah pada sisi lain masyarakat juga makin kritis dalam menilai kesimpulan, pernyataan, maupun penjejalan opini yang secara masif digiring oleh para buzzer?

Ada titik yang seharusnya disikapi secara kritis. Yakni, seperti apa “status” kebenaran yang diklaim oleh pihak-pihak tertentu dalam sebuah isu publik? Inilah yang seharusnya mendorong media untuk meyakinkan ikhtiar menemukan kebenaran.
Jika hanya memuat pernyataan, baik perseorangan maupun yang mengatasnamakan lembaga, lalu tidak memverifikasinya secara indepth atau investigatif, media bisa terjebak dalam frame berpikir mereka yang menjejalkan opininya. Apalagi sekarang ada influencer dan buzzer yang masif menyemburkan pembelaan dan pencitraan kepada pihak tertentu.

Tugas Organisasi Wartawan

Baca Juga: Hasil Pertandingan Liga Inggris Tadi Malam, Derby Manchester Imbang, Everton Pecundangi Chelsea

Menyampaikan kebenaran dalam isu-isu publik merupakan tugas standar wartawan dan media. Bahkan telah menjadi tugas sejak jurnalisme itu ada. Hanya, realitas proyeksi kontestasi politik, perkembangan teknologi informasi, dan kehendak manusia untuk survive melalui “profesi-profesi seperti buzzer” membentuk dinamika baru dalam pengelolaan penyampaian kebenaran. Keyakinan menyampaikan kebenaran, bukan sekadar “kebenaran”, di dalamnya memuat tanggung jawab etis media.

Media harus melakukan cek fakta, sehingga peran yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pers yakni melayani masyarakat dengan menyampaikan informasi, memberi edukasi, menghibur, dan melakukan fungsi kontrol sosial dapat berjalan on the track.

Kemampuan untuk menyampaikan kebenaran, pada sisi lain sering dibayangi oleh ancaman kekerasan, baik secara fisik maupun psikis. Laporan-laporan terjadinya kekerasan dan intimidasi dari peliputan demonstrasi penolakan revisi UU KPK, Omnibus Law, dan sebagainya menunjukkan bahwa perlindungan kepada wartawan dalam menjalankan tugas belum dipahami sebagai “tanggung jawab bersama” elemen-elemen masyarakat yang membutuhkan informasi dan mengawal pencerdasan kehidupan bangsa.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Unjuk Kebolehannya Main Sulap Untuk Hibur Warga yang Tidak Bisa Bermalam Minggu

Halaman:

Editor: Intan Hidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah