Suasana pasar rakyat dengan dagangan yang dijajakan di sepanjang jalan utama desa, pertunjukan wayang, dan aneka kesenian rakyat menjadi sebuah pemandangan yang khas.
Terlebih dari itu adalah setiap pintu rumah siapa pun selalu terbuka menyambut para kerabat dan tetamu yang berdatangan dari dalam desa hingga dari luar kota dan pulau. Sebuah suasana kebatinan yang hangat.
“Ya, siapa pun boleh datang, menikmati suguhan dan berbincang-bincang dengan akrab di setiap rumah yang terbuka,” kata Andri (33) yang hari itu menemani Nurul (32) sang istri menyiapkan makanan untuk selamatan Saparan.
Nurul menata ayam ingkung utuh, buah-buahan dan beberapa penganan khas sebagai bagian dari rangkaian makanan yang wajib didoakan terlebih dahulu. Di dapur, harum masakan dan nasi panas mengebul siap disajikan bagi tetamu yang datang.
Baca Juga: PWI Jabar Mendesak Kepolisian Mengusut Tuntas Dugaan Penganiayaan Dua Wartawan di Karawang
“Walaupun sudah makan di lain tempat, tetap harus menyantap masakan si tuan rumah. Ini hukum yang tidak tertulis di setiap Saparan,” kata Nurul.
Bersama keluarganya, secara khusus Nurul sudah menganggarkan pengeluaran tetap untuk peristiwa Saparan, sehingga selama setahun ia dan suaminya tertib menabung agar bisa merayakannya. Ia juga tidak pernah keberatan dengan iuran gotong royong yang wajib dibayar oleh seluruh warga desa agar tahun ini dapat menghadirkan pertunjukan wayang kulit dengan dalang terkenal dari Yogyakarta.
Kehangatan Saparan dalam interaksi sosial yang terbangun, mendapatkan tanggapan dari dosen komunikasi Universitas Semarang, Edi Nur Wahyu Julianto. Menurut Edi, tradisi-tradisi yang banyak melibatkan interaksi komunikasi antar personal ini jelas menjadi sebuah peristiwa komunikasi budaya yang idealnya dapat terjaga kelestariannya karena menempatkan posisi para komunikatornya menjadi sejajar sehingga menimbulkan semangat kebersamaan yang erat.