Media dalam Respek Kepublikan

- 30 Oktober 2020, 20:14 WIB
Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah Amir Machmud NS
Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah Amir Machmud NS /twitter.com/kominfo_jtg/Sinarjateng.com

Dalam buku Adab Jurnalistik saya tegaskan, makin banyak bukti betapa media berperan secara determinatif dalam menemukan, mengangkat, membuka, lalu mendorong penyelesaian persoalan-persoalan publik. Kegairahan orang-orang media boleh jadi tak hanya didorong oleh orientasi “kebaikan” sebagai jabaran fungsi ideal berjurnalistik, karena memang terdapat sisi-sisi lain yang terkait dengan praksis jurnalisme lantaran perkembangan pesat teknologi informasi (Amir Machmud NS: 2017).

Idealita itu dapat kita tangkap dari kesadaran model-model inspirational news dalam sajian pemberitaan pandemi Covid-19, liputan bencana alam, atau liputan pengembangan dunia pariwisata, misalnya.

Sikap-sikap kritis juga dapat kita temukan dalam arus pemberitaan tentang geger unjuk rasa Omnibus Law Cipta Kerja, belum lama berselang. Bahkan, pengembangan pemberitaan di seputar ucapan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri yang mengkritisi peran kaum milenial pun dapat kita kemas dalam visi “tanggung jawab kepublikan media”.

Baca Juga: Mulai Hari ini, Sumatera Barat Keluar dari Zona Merah Covid-19

Mari kita simak Bill Kovach dan Tim Rosenstiel dalam buku legendaris Elemen-elemen Jurnalisme. Kode etik dan misi jurnalisme menghasilkan kesaksian yang sama. Tujuannya, seperti dalam Kode Etik American Society of Newspaper Editors, “untuk melayani kesejahteraan umum dengan menginformasikan berita kepada orang-orang”. Ungkapan populer yang kemudian menjadi klasik dalam praksis ini adalah, “Berikan sinar, dan orang-orang akan menemukan jalan mereka sendiri” (Kovach & Rosenstiel: 2004).

Masalahnya, pemberitaan media punya kekuatan determinasi. Akan ada tarik-menarik dalam atmosfer kepublikan apabila media memberitakan atau tidak memberitakan; mengurangi bobot pemberitaan atau menambah bobot itu. Maka kemauan untuk memilih bobot, yang artinya apakah akan bersikap extraordinary atau bersikap ordinary terhadap isu-isu publik tertentu pasti bakal menentukan, sejauh mana tanggung jawab dan respek kepublikan itu dicapai. Dan, itu akan terasa terhadap pengaruh kekuatan opini isu publik tertentu di masyarakat.

Determinasi pemberitaan yang paling terasa adalah dalam mendorong pengambilan keputusan yang (idealnya) prorakyat oleh otoritas-otoritas tertentu. Suara publik didengar dari arus pendapat yang dipancarkan oleh media. Di sinilah “narasi positif” pemberitaan itu menemukan kanal pergulatan pertimbangan di newsroom media: akan diolah dalam kemasan seperti apa, dengan tujuan apa.
Hari-hari ini, kita mengikuti atmosfer opini di tingkat publik dari sajian pemberitaan tentang unjuk rasa Omnibus Law Cipta Kerja.

Baca Juga: Satgas: Akselerasi Persiapan Logistik dan SDM Untuk Vaksinasi Covid-19

Hari-hari ini dan esok, kita juga bisa mengamati sejauh mana pengaruh pemberitaan tentang kritik Megawati terhadap kaum milenial. Pada saat yang sama, opini utama yang mendominasi pemberitaan adalah kondisi bangsa ini, yang masih dihantui pandemi Covid-19 dengan informasi terkait dengan kebijakan pemerintah di berbagai level dan ikhtiar pencerahan mengenai adaptasi perilaku baru.

Narasi-narasi seperti apa yang kita pilih di tengah pusaran masalah tersebut? Di tingkat provinsi dan lokal, pastilah juga muncul dan berkembang masalah-masalah yang menyangkut hidup dan kemaslahatan bersama. Dengan berpatokan pada visi kebangsaan, membuka diri terhadap kepentingan bersama merupakan salah satu pilihan sikap media, yang tentu bisa diselaraskan dengan sikap respek kepublikannya.

Halaman:

Editor: Intan Hidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x