Sapa Gayeng Saparan dari Lereng Merbabu

- 3 Oktober 2022, 09:51 WIB
seorang anak menonton pertunjukan wayang kulit di sudut desa
seorang anak menonton pertunjukan wayang kulit di sudut desa /SinarJateng

 

 

SINARJATENG.COM - Gelak tawa riuh warga Desa Sowanan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang sore itu  terdengar di sekitar panggung pagelaran wayang kulit di sudut desa. Adegan goro-goro punakawan yang ditunggu-tunggu muncul melalui celotehan lucu Sang Dalang yang ringan tapi menyentil kehidupan keseharian.

Lakon “Mbangun Candi Saptoargo” menjadi pagelaran pembuka pada momentum saparan tahun ini dimana sebelumnya  sempat terhenti selama dua tahun karena pandemi.

“Alhamdulillah tahun ini seluruh warga desa kompak, guyub rukun sepakat tetap semangat mengadakan Saparan nanggap wayang sebagai wujud syukur,” tutur Jumarno (65), sesepuh desa.

Jumarno menambahkan, tradisi saparan tidak bisa ditinggalkan begitu saja karena sudah menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah kaum petani di lereng Gunung Merbabu.

Baca Juga: Gubernur Ganjar Beri Bantuan Petani, Nelayan, Angkot dan Ojol Akibat Kenaikan Harga BBM

“Ya ini seperti merti dusun, syukuran desa karena selalu dalam limpahan kasih sayang Yang Maha Kuasa. Selanjutnya melalui saparan ini warga juga memanjatkan doa agar sepanjang tahun selalu dalam naungan perlindungan Tuhan, jadi saparan ini tidak hanya milik orang Islam saja tapi sudah menjadi peristiwa tradisi  budaya desa untuk semua agama dan kalangan,” sambung Jumarno.

Ucapan Jumarno tak berlebihan, karena tradisi saparan yang berlangsung turun temurun senyatanya memang tidak pernah “terpisah” oleh perbedaan keyakinan dan agama yang ada di masyarakat. 

Sebagaimana yang diucapkan oleh Parwadi (55) yang juga seorang pendeta di sebuah Gereja Kristen di Sowanan, Kecamatan Ngablak.

“Bagi kami kalangan Kristiani, momentum Saparan ini adalah kesempatan untuk saling bersilaturahmi, semakin merekatkan nilai-nilai persaudaraaan antar sesama manusia, biar semakin gayeng dalam bermasyarakat,” tutur Parwadi.

grup kesenian rakyat setempat yang meramaikan saparan
grup kesenian rakyat setempat yang meramaikan saparan SinarJateng

Lebih lanjut Parwadi menambahkan, rata-rata warga yang beragama Kristen, tetap memilik pandangan yang positif terhadap tradisi ini, meski Saparan tidak harus dimaknai secara harafiah dengan menyediakan sesaji di kalangan keluarga Kristiani.

“Yang paling penting bagi kami adalah saatnya saling berkunjung, merekatkan persaudaraan lintas iman dan saling menghargai,” kata Parwadi.

Baca Juga: Humas Pemprov Jateng Buka Kesempatan Magang Kerja untuk Fresh Graduated, Yuk Cek Persyaratannya di Sini!

Tradisi Saparan dilakukan berdasarkan sistem Jawa, yaitu dilaksanakan pada bulan Sapar dan pada hari yang ditentukan, sesuai hari pasaran Jawa. Sedangkan kata Saparan itu sendiri berasal dari kata Sapar, yaitu bulan kedua dari penanggalan Jawa.

Sistem hari pasaran yakni siklus lima hari dalam pekan tradisional Jawa yang secara berurutan yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Catatan ilmiah dari sejarawan Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya,  sistem hari sepasaran tersebut sangat penting untuk diketahui dengan pasti siklusnya oleh masyarakat Jawa.

Karena seringkali sistem perdagangan keperluan sehari-hari dan terutama makanan, ditentukan oleh irama hari pasaran tersebut. Hitungan pasaran tersebut hingga kini bahkan masih dijumpai dalam dinamika masyarakat Jawa terutama yang tinggal di pedesaan.

Di beberapa desa lereng gunung Merbabu termasuk Desa Sowanan ini, Saparan menjadi sebuah tradisi yang melibatkan hampir semua warganya. Aneka kegiatan dan hiburan disamping ritual wajib yang dilakukan melibatkan seluruh warganya, meski Saparan tiap desa bisa berbeda-beda waktunya dan tidak berjalan serempak.

Suasana pasar rakyat dengan dagangan yang dijajakan di sepanjang jalan utama desa, pertunjukan wayang, dan aneka kesenian rakyat menjadi sebuah pemandangan yang khas.

suasana pasar tiban di jalan desa saat saparan
suasana pasar tiban di jalan desa saat saparan SinarJateng

Terlebih dari itu adalah setiap pintu rumah siapa pun selalu terbuka menyambut para kerabat dan tetamu yang berdatangan dari dalam desa hingga dari luar kota dan pulau. Sebuah suasana kebatinan yang hangat.

“Ya, siapa pun boleh datang, menikmati suguhan dan berbincang-bincang dengan akrab di setiap rumah yang terbuka,” kata Andri (33) yang hari itu menemani Nurul (32) sang istri menyiapkan makanan untuk selamatan Saparan.

Nurul menata ayam ingkung utuh, buah-buahan dan beberapa penganan khas sebagai bagian dari rangkaian makanan yang wajib didoakan terlebih dahulu. Di dapur, harum masakan dan nasi panas mengebul siap disajikan bagi tetamu yang datang.

Baca Juga: PWI Jabar Mendesak Kepolisian Mengusut Tuntas Dugaan Penganiayaan Dua Wartawan di Karawang

“Walaupun sudah makan di lain tempat, tetap harus menyantap masakan si tuan rumah. Ini hukum yang tidak tertulis di setiap Saparan,” kata Nurul.

Nurul menata ayam ingkung untuk selamatan saparan
Nurul menata ayam ingkung untuk selamatan saparan SinarJateng

Bersama keluarganya, secara khusus Nurul sudah menganggarkan pengeluaran tetap untuk peristiwa Saparan, sehingga selama setahun ia dan suaminya tertib menabung agar bisa merayakannya. Ia juga tidak pernah keberatan dengan iuran gotong royong yang wajib dibayar oleh seluruh warga desa agar tahun ini dapat menghadirkan pertunjukan wayang kulit dengan dalang terkenal dari Yogyakarta.

Kehangatan Saparan dalam interaksi sosial yang terbangun, mendapatkan tanggapan dari dosen komunikasi Universitas Semarang, Edi Nur Wahyu Julianto. Menurut Edi, tradisi-tradisi yang banyak melibatkan interaksi komunikasi antar personal ini jelas menjadi sebuah peristiwa komunikasi budaya yang idealnya dapat terjaga kelestariannya karena menempatkan posisi para komunikatornya menjadi sejajar sehingga menimbulkan semangat kebersamaan yang erat.

“Saya rasa ini sesuai sekali dengan ungkapan “Jateng Gayeng nya Jawa Tengah” ya, apalagi momentum seperti ini sangat fair, menghilangkan sifat saling curiga dan syak wasangka apalagi dekat dekat tahun politik ini” kata Edi.

Dalam pandangannya, Saparan masih sangat fungsional dalam kehidupan sosial masyarakat desa yang ada sejalan dengan teori fungsionalisme budaya yang dikemukakan oleh Malinowski dan Radcliffe Brown, bahwa suatu budaya bertahan karena ternyata memiliki fungsi-fungsi tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.

Baca Juga: Terbangkan Lampion Bersama Bocah Rambut Gimbal Dieng, Ganjar: Ini Pengungkit Pariwisata 

“Mari kita sebutkan bagian mana yang tidak “gayeng”? Saparan ini jelas menjadi sebuah kepentingan bersama dimana Saparan diharapkan sebagai pembawa kemakmuran, menjalankan fungsinya menjaga ikatan kekerabatan, menjaga ikatan solidaritas dan kerukunan warga, fungsi hiburan, dan fungsi menjaga warisan budaya, jelas ini sangat “gayeng” yang tidak dibuat-buat, sambung Edi.

Dari lereng Merbabu, udara di bulan Sapar tidak akan pernah dirasakan dingin karena di dalamnya selalu menggumpal semangat kebersamaan khas masyarakat Jawa Tengah yang hangat.***

Editor: Intan Hidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x